MAJAZ
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Tahsin
al-Lughah
Dosen pengampu : Talqis
Nurdianto, Lc., MA.
Disusun oleh:
Septiani Nuruh
Hanifah (20140820018)
Rahmi Mazmun (20140820027)
Aqidah Alan
Nisa’ (20140820031)
PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYYAH YOGYAKARTA
2016
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji hanya layak untuk
Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkah, rahmat, taufiq, serta
hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga kami, tim penyusun, dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Majaz”.
Dalam penyusunan makalah ini, kami memperoleh banyak
bantuan dari berbagai pihak, karena itu kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua kami serta Ustadz Talqis Nurdianto, Lc., MA. selaku dosen
Tahsinu al-Lughah yang telah memberikan dukungan dan kepercayaan yang begitu
besar. Dari
sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kepahaman dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun kami
berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu
ada yang kurang. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata,
kami berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Yogyakarta, 26 Mei 2016
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran yang sangat indah dan sarat akan makna itu tidaklah mudah.
Apalagi Al-Quran merupakan mukjizat terindah dan teragung yang diberikan kepada
nabi Muhammad.
Salah
satu saran dari sekian banyak disiplin ilmu yang dapat dipergunakan untuk
mencapai maksud itu adalah balaghah, karena balaghah merupakan disiplin ilmu
yang berlandaskan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian yang menangkap
keindahan dan kejelasan perbedaan yang sama di antara macam-macam uslub
(ungkapan). Balaghah mendatangkan makna yang agung dan jelas, dengan ungkapan
yang benar dan fasih.
Ilmu
bayan terdiri atas empat bahasan, salah satunya yakni majaz. Sebelum masuk ke
bahasan, balaghoh itu sendiri adalah ungkapan yang benar dan fasih, dengan
menggunakan berbagai macam uslub. Fasih/fasahah bermakna jelas dan terang.
Kalimat yang fasih adalah kalimat yang jelas maknanya, mudah bahasanya, dan
baik susunannya. Jadi, kalimat yang fasahah itu harus sesuai kaidah sharaf yang
benar dan mudah dipahami. Selain itu, kata-kata yang menyusun kalimat itu tidak tanafur sehingga
tidak sulit didengar dan diucapkan, juga tidak rancu susunannya. Kalimat yang
rancu adalah kalimat yang tidak jelas maksudnya. Kalimat yang fasih juga harus
bebas dari kerancuan makna.
Dari
definisi fasahah tersebut, tim penyusun merasa perlu untuk membahas tentang
uslub majaz.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian dari majaz?
2.
Apa pengertian majaz mursal?
3.
Apa saja alaqat majaz mursal?
4.
Apa pengertian isti’arah?
C. TUJUAN
PEMBALAJARAN
1.
Mengetahui makna majaz
2.
Mengetahui makna majaz mursal
3.
Mengetahui macam-macam alaqat majaz mursal
4.
Mengetahui makna isti’arah
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
MAJAZ
Majaz secara leksikal bermakna ‘melewati’.
Secara terminology, suatu perkata yang dipakai
bukan untuk makna yang sebenarnya karena adanya ‘alaqah (hubungan)
disertai adanya qarinah yang melarang penggunaan makna asal.
Majaz (konotatif) merupakan kebalikan dari hakiki
(denotatif). Makna hakiki adalah makna asal dari suatu lafal atau ungkapan yang
pengertiannya dipahami orang pada umumnya. Lafal
atau ungkapan itu lahir untuk makna itu sendiri. Sedangkan majazi merupakan perubahan makna dari makna asal ke
makna kedua. Makna ini lahir bukan untuk pengertian pada umumnya. Dalam makna
ini ada proses perubahan makna. Muraadif atau munaasabah tidak
dikatakan memiliki makna majazi karena di dalamnya tidak ada perubahan dari
makna asal kepada makna baru.
Suatu ungkapan atau teks bisa dinilai mengandung makna
hakiki jika si pengucap atau penulisnya menyatakan secara jelas bahwa maksudnya
sesuai dengan makna asalnya; atau tidak adanya qarinah-qarinah (indikator) yang
menunjukkan bahwa teks tersebut mempunyai makna majazi. Tetapi jika ada qarinah-qarinah
yang menunjukkan bahwa lafal atau ungkapan tidak boleh dimaknai secara hakiki,
maka kita harus memaknainya secara majazi.
Ungkapan atau lafal majaz muncul disebabkan oleh
dua hal, yaitu:
1.
Sabab Lafzhi
Lafal - lafal tersebut tidak bisa dan tidak boleh
dimaknai secara hakiki. Jika dimaknai hakiki
maka akan muncul pengertian yang salah. Qarinah pada ungkapan majaz
jenis ini bersifat lafzhi pula.
Contoh :
خطب الأسد أمام الناس
Artinya, “singa berpidato di depan orang – orang.”
2.
Sabab takribi (isnadi)
Ungkapan majazi terjadi bukan karena
lafal-lafalnya yang tidak bisa dipahami secara hakiki, akan tetapi dari segi
penisbatan. Penisbatan fi’il kepada failnya
tidak bisa diterima secara rasional dan keyakinan.
Contoh :
وَأَخْرَجَتِ الأرْضُ أَثْقَالَهَا
Artinya, “dan bumi telah mengeluarkan
beban-beban berat (yang dikandung) nya” (Q.S al-Zalzalah:2)
Tidak bisa menisbatkan “ أخرجت ” kepada “ الأرض ” karena yang mengeluarkan beban – beban itu
pada hakikatnya adalah Allah swt.
Di dalam bahasa arab sering terjadi penggunaan suatu
lafal atau kalimat bukan untuk makna yang seharusnya dengan tujuan memperindah
pengungkapan. Pengungkapan ide dan perasaan dengan tujuan tersebut dilakukan
dengan cara taudih al-ma’na (memperjelas makna), mubalaghah
(hiperbola), tamtsili (eksposisi) dan lain – lain. Obyek bahasan yang dikaji dan dibahas dalam
majaz hanyalah tataran lafal. Sedangkan penggunaan suatu ungkapan kaliamat
bukan untuk makna yang seharusnya menjadi bahasan tersendiri dalam ilmu ma’ani.
Suatu ungkapan dinamakan majaz apabila memenuhi beberapa
syarat, yaitu :
a.
Harus mengandung makna majazi
Makna majazi adalah kata yang dipakai bukan pada makna yang semestinya
karena ada alaqah (hubungan) dan disertai qarinah (lafal yang mencegah
penggunaan makna asli).
b.
Mempunyai qarinah.
c.
Memindahkan makna hakiki pada makna majazi.
Makna hakiki ialah makna yang dipakai menurut makna yang seharusnya.
Majaz pada garis besarnya terdiri atas dua jenis, yaitu :
·
Majaz aqly
Majaz yang menyandarkan fi’il (verba)
kepada fa’il yang bukan seharusnya karena ada alaqah (hubungan) serta
adanya qarinah yang mencegah dari penyandaran yang sebenarnya.
Contoh :
بنى رئيس الجامعة مسجدا كبيرا
Artinya, “ Rektor Institut itu membangun masjid yang besar.”
Pada contoh di atas, sudut pandang kita
tertuju pada اسناد الفعل إلى الفاعل (penyandaran fi’il dan fa’il) yang tidak
sebenarnya. Beberapa pertanyaan yang dapatdimunculkan terhadap ungkapan بنى رئيس الجامعة مسجدا antara lain; benarkah rektor institut membangun sendiri?,
siapa yang membangun masjid sebenarnya? Yang membangun masjid adalah tukang
batu, namun itu semua atas perintah rektor institut. Gaya bahasa majaz yang
menyandarkan fi’il pada fa’il yang tidak sebenarnya tersebut dinamakan majaz aqly
(مجاز عقلى).[1]
·
Majaz lughawi
Majaz yang alaqahnya atau illah nya didasarkan
pada aspek bahasa.
Majaz lughawi terdiri atas dua jenis, antara lain :
o Majaz mursal ialah majaz yang alaqahnya ghair musyabbah (tidak saling
menyerupai)
o Majaz isti’arah adalah yang alaqahnya (hubungan) antara makna asal dan
makna yang dimaksud adalah musyaabahah (keserupaan).
B. MAJAZ
MURSAL
Majaz mursal adalah majaz yang alaqahnya ghair
musyaabahah (tidak saling menyerupai). Alaqah antara musta’ar dan musta’ar minhu dalam bentuk:
§
Sababiyah :
ini sebagai salah satu indikator majaz mursal. Menyebutkan sebab sesuatu,
sedangkan yang dimaksud adalah sesuatu yang disebabkan.
Contoh :
عظمت يد فلان عندى
Artinya, “sungguh besar tangan si fulan di sisiku.”
§
Musababiyyah :
Ini indikator kedua. Menyebutkan sesuatu yang disebabkan, sedangkan yang
dimaksud adalah sebabnya.
Contoh :
أمطرت السماء نباتا
Artinya, “Langit mengucurkan tanaman.”
§
Juz’iyyah :
Menyebutkan bagian dari sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah
keseluruhannya.
Contoh :
أرسلت العيون لتطلع احوال العدو
Artinya,”Saya mengirim mata-mata untuk mengamati keadaan musuh.
§
Kulliyah :
Menyebutkan sesuatu keseluruhannya, sedangkan yang dimaksudkannya adalah
sebagiannya.
Contoh :
يقولون بأفواههم ماليس في قلوبهم
Artinya,”Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang terkandung dalam hati mereka.”[2]
§
I’tibaaru maa kaana : Menyebutkan sesuatu yang telah terjadi, sedangkan yang
dimaksudkannya adalah yang akan terjadi atau yang belum terjadi.
Contoh :
واتوا اليتامى أموالهم
Artinya,”Dan berikanlah kepada anak yatim harta benda mereka.” (QS.
Nisa’:2)
§
I’tibaaru maa yakuunu: Menyebutkan sesuatu
dengan keadaan yang akan terjadi, sedangkan yang dimaksudkannya adalah keadaan
sebelumnya.
Contoh :
وَدَخَلَ مَعَهُ السِّجْنَ فَتَيَانِ قَالَ أَحَدُهُمَا إِنِّي
أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْرًا......
Artinya,” Dan bersama dengan dia masuk pula
ke dalam penjara dua orang pemuda. Berkatalah salah seorang di antara keduanya:
"Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur"....”[3]
§
Mahaliyyah :
Menyebutkan tempat sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah menempatinya.
Contoh :
فوو المجلس ذلك
Artinya,”Majelis telah memutuskan demikian.”
§
Haliyyah :
menyebutkan keadaan sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah yang
merasakan keadaan itu.
Contoh :
وأما الذين ابيضت وجوههم ففى رحمتالله هم فيها
خالدون
Artinya,” Dan orang-orang yang wajahnya putih, merekaada di dalam rahmat
Allah. Mereka kekal didalamnya.”[4]
§
Aliyah :
apabila disebutkan alatnya, sedangkan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang dihasilkan
oleh alat tersebut.
Contoh :
ووهبنالهم من رحمتنا وجعلنا لهم لسان صدق عليا
Artinya,”Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan
Kami jadikan mereka buah tutur yang baik dan mulia.”[5]
C.
ISTI’ARAH
Pada hakikatmya majaz isti’arah adalah tasybih yang
dibuang salah satu tharafain nya (musyabbah atau musyabbah bih nya) dan dibuang
pula wajah syibh dan adat tasybihnya. Perbedaan antar keduanya juga terletak
pada penamaan pada kedua tharafain-nya. Dalam isti’arah, musyabbah dinamai
musta’ar lah dan musyabbah bih dinamai musta’ar minhu. Lafal yang mengandung
isti’arah dinamakan musta’ar dan wajh syibh nya dinamakan jami’. Sedangkan
qarinah-nya terdapat dua jenis yaitu qarinah mufrad dan qarinah jama’.
Majaz isti’arah dibagi menjadi beberapa katagori:
1. Majaz isti’arah yang ditinjau dari segi musta’ar lah dan musta’ar minh
dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
Ø Isti’arah tashriihiyyah
Pada jenis ini yang ditegaskan (ditashrih) adalah musta’ar minhu nya
sedangkan musta’ar lah nya dibuang. Dengan istilah lain, pada jenis ini disebut musyabbah bih dan
musyabbah-nya dibuang. Contoh:
....كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ
النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ....
Artinya, “... Al-Qur’an itu suatu kitab yang Kami
turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada
cahaya ...” (Q.S Ibrahim :1)
Pada ayat di atas terdapat kata “الظلمات ” dan “النور ”. kedua kata pada ayat di atas digunakan
untuk makna majazi. Makna sebenarnya dari kedua kata itu adalah “الضلال ” untuk makna “
الظّلمات ” dan “ الهدى ” untuk makna “ النور ”.
Jika kita
tela’ah kata “ الضلال ” dan “ الهدى ” keduanya merupakan musyabbah; sedangkan kata
“ الظلمات ” dan “ النور ”, keduanya sebagai musyabbah bih. Pada ungkapan majaz
di atas kata yang dibuang adalah “ الضلال ” dan “الهدى ” yang kedudukannya
sebagai musyabbah. Untuk men-taqrir ungkapan majaz isti’arah tashrihiyyah
dilakukan hal – hal sebagai berikut:
Kesesatan dan
hidayah diserupakan dengan kegelapan dan cahaya karena sama-sama dalam
kegelapan dan terangnya. Musyabbah bih disebut, yaitu kata “ الظلمات” dan “النور ”. sedangkan musyabbah-nya dibuang, yaitu kata
“الضلال ” dan “الهدى ” melalui bentuk isti’arah tashrihiyah.
Ø Isti’arah makniyyah
Pada jenis majaz ini yang dibuang adalah
musta’ar minhu, atau dengan kata lain musyabbah bihnya. Hal ini dapat diketahui
dari kelaziman kata – kata yang terkandung disana. Contoh :
إني لرأيت رؤوسا قد
أينعتت # و حانقطافهاوإنى لصاحبها
Artinya, “ sungguh aku melihat kepala – kepala yang sudah ‘ranum’ dan sudah tiba waktu memanenya dipetik dan akulah pemiliknya ”
Pada sya’ir di atas kita menemukan ungkapan “رؤوسا قد أينعتت ” (kepala –kepala yang sudah ranum). Dari kata
“أينعتت ” (sudah ranum) kita dapat
mengetahui bahwa ada penyamaan kepala dengan buah – buahan.
Di sini hanya disebut musta’arlah (musyabbah) saja yaitu “kepala”, sedang
musta’ar minhu tidak ada, hanya diisyarahkan dengan kata ranum dimana kelaziman
dari kata tersebut adalah untuk buah – buahan. Kata “buah-buahan” sebagai
musta’ar minhu-nya dibuang.
Cara mentaqrir isti’arah makniyyah adalah :
Kepala diserupakan kepada buah – buahan pada segi bentuk, musyabbah
disebut, yaitu kepala, sedangkan musyabbah bih dibuang, yaitu buah – buahan dan
di-isyarah-kan kepadanya dengan shalih datu kelazimannya yaitu kata ranum
menurut jalan isti’arah makniyyah.
2. Majaz isti’arah yang ditinjau dari segi bentuk lafalnya menjadi dua
kategori, yaitu:
Ø Isti’arah ashliyah
Isti’arah ashliyah adalah jenis majaz yang
lafal musta’ar nya isim jami bukan musytaq (bukan isim sifat). Contoh :
أُحبك يا شمس الزمان وبدره # وإن
لا منى فيك السها والفراقد
Artinya, “ Aku cinta kamu, wahai matahari dan
bulan zaman ini, sekalipun bintang – bintang yang samar dan jauh mencaci-makiku
karena menukaimu”
Pada
sya’ir di atas, Saifud Daulah diserupakan dengan “شمس ” atau matahari dan “بدر ” atau bulan, karena jauh dan sama – sama jauh dan
tidak jelas. Kata “شمس ” dan “بدر ” keduanya termasuk kata jamid.
Penggunaan
kata dalam sebuah ungkapan majaz dinamakan majaz isti’arah ashliyyah.
Ø Isti’arah taba’iyyah
Isti’arah taba’iyyah adalah jenis majaz yang musta’arnya fi’il,
isim musytaq atau harf. Contoh :
a. Taba’iyyah dengan fi’il
عضنا الدهر
Artinya, “
Zaman, telah mengigitku dengan taringnya.”
Arti “عض ” yang mempunyai makna
adal ialah ‘mengigit’; sedang yang dimaksud adalah ‘menyakiti’. Ungkapan ini
namanya isti’arah musharrahah, juga taba’iyyah karena musta’ar-nya berbentuk
fi’il.
b. Taba’iyyah dengan isim musytaq
حالى ناطقة بأحزانى
Artinya, “ Keadaanku mengucapkan kesedihanku.
”
Yang dimaksud “mengucapkan” ialah menunjukkan.
Namanya isti’arah musharrahah taba’iyyah karena pada isim musytaq.
c. Taba’iyyah dengan harf
لأصلبنكم في جذوع النخل
Artinya, “ Sungguh aku akan menyalibmu didalam
cabang pohon kurma. ”
Makna kata “في ” pada potongan ayat di
atas adalah “di atas”. Kata “في ” adalah huruf. Dengan
demikian isti’arah ini dinamakan isti’arah tabaiyyah, karena lafadz yang
menjadi majaz-nya adanya harf (huruf).
3. Majaz isti’arah yang ditinjau dari segi kata yang mengikutinya menjadi tiga
kategori, yaitu :
Ø Isti’arah murasysyahah
Isti’arah murasysyahah yaitu suatu ungkapan
majaz yang diikuti oleh kata-kata yang cocok untuk musyabbah bih. Contoh firman
Allah swt dalam surat al – Baqarah ayat 16:
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى فَمَا
رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
Artinya, “Mereka
itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung
perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
”
Pada ayat di atas terdapat ungkapan majaz,
yaitu “اشْتَرَوُا ” kata tersebut merupakan bentuk majaz dari kata “ تبادلوا ” yang bermakna menukar. Pada kalimat
berikutnya terdapat mulaim (kata – kata yang sesuai untuk musyabbah atau
musyabbah bih) yaitu ungkapan “رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ ”. ungkapan tersebut
sesuai untuk musyabbah yaitu “اشْتَرَوُا ”. jika mulaim pada suatu ungkapan majaz cocok untuk
musyabbah maka dinamakan isti’arah mujarradah.
Ø Isti’arah muthlaqah
Isti’arah muthlaqah ialah isti’arah yang tidak
diikuti oleh kata-kata, baik yang cocok bagi musyabbah bih mauapun musyabbah.
Contoh:
ينقضون عهدالله
Artinya, “ mereka membuka janji Allah.”
Pada potongan ayat di atas terdapat ungkapan
majaz yaitu kata “ينقضون ”. kata tersebut
bermakna menyalahi yang diserupakan dengan “يفتحون ” yang bermakna ‘membuka tali’.
Ø Isti’arah mujarradah
Isti’arah mujarradah adalah isti’arah yang
disertai dengan kata-kata yang cocok bagi musyabbah. Contoh :
في بيتي أسد يصلح دراجته
Artinya, “ Di rumahkan ada singa yang sedang
memperbaiki sepedanya.”
Maksudnya adalah ada orang yang seperti singa.
Kata “memperbaiki sepeda” pantas dan cocok bagi musyabbah yaitu orang berani.
Isti’arah seperti ini dinamakan mujarradah.
D. KEINDAHAN
BALAGI
Keindahan balagi
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Majaz
secara leksikal bermakna melewati. Secara terminology, berarti kata
yang digunakan bukan untuk makna yang sebenarnya karena adanya ‘alaqah disertai
adanya qarinah yang mencegah dimaknai secara hakiki.
Ungkapan atau lafal majaz muncul disebabkan oleh dua hal,
yaitu: Sabab Lafzhi dan Sabab takribi (isnadi)
Suatu ungkapan dinamakan majaz apabila memenuhi beberapa
syarat, yaitu :
d.
Harus mengandung makna majazi
e.
Mempunyai qarinah.
f.
Memindahkan makna hakiki pada makna majazi.
Majaz pada garis besarnya terdiri atas dua jenis, yaitu :
Majaz aqly dan Majaz lughawi. Namun, majaz lughawi juga terdiri atas dua jenis,
antara lain : Majaz mursal dan Majaz isti’arah.
Majaz mursal merupakan majaz yang alaqahnya ghair musyaabahah
(tidak saling menyerupai). Alaqah antara
musta’ar dan musta’ar minhu terbagi dalam sembilan bentuk, yaitu : Sababiyah,
Musababiyyah, Juz’iyyah, Kulliyah, I’tibaaru maa kaana, I’tibaaru maa yakuunu,
Mahaliyyah, Haliyyah , Aliyah.
Sedangkan majaz isti’arah adalah tasybih yang dibuang
salah satu tharafain nya (musyabbah atau musyabbah bih nya) dan dibuang pula
wajah syibh dan adat tasybihnya. Perbedaan antar keduanya juga terletak pada
penamaan pada kedua tharafain-nya. Dalam isti’arah, musyabbah dinamai musta’ar
lah dan musyabbah bih dinamai musta’ar minhu. Lafal yang mengandung isti’arah
dinamakan musta’ar dan wajh syibh nya dinamakan jami’. Sedangkan qarinah-nya
terdapat dua jenis yaitu qarinah mufrad dan qarinah jama’.
Majaz isti’arah dibagi menjadi beberapa katagori:
a. Majaz isti’arah yang ditinjau dari segi musta’ar lah dan musta’ar minh
dibagi menjadi dua kategori, yaitu: Isti’arah tashriihiyyah dan Isti’arah
makniyyah
b. Majaz isti’arah yang ditinjau dari segi bentuk lafalnya menjadi dua
kategori, yaitu: Isti’arah ashliyah dan Isti’arah taba’iyyahq
c. Majaz isti’arah yang ditinjau dari segi kata yang mengikutinya menjadi tiga
kategori, yaitu : Isti’arah murasysyahah, Isti’arah muthlaqah dan Isti’arah
mujarradah
DAFTAR
PUSTAKA
Idris, M.
(2016). Retorika Berbahasa Arab Kajian Ilmu Bayan. Yogyakarta: Penerbit
KaryaMedia.
Zaenuddin, M., & Nurbayan, Y. (2007). Pengantar
Ilmu Balaghah. Bandung: PT Refika Aditama.
Al-Quran
No comments:
Post a Comment